Sabtu, 21 November 2009

kumpulan diksi

KELUARLAH

Keluarlah, ayo lihat dunia!
Bukan melulu termangu di kursimu

Kita lupakan singgasana dan nama baik
Kehormatan dan ketakutan

Bayangkan saja
Berapa banyak generasi lagi yang kita korbankan
Untuk itu semua

Anak-anakmu telah lelah dididik menjadi pecundang
Dan bukankah kedatangan mereka bukan untuk dibohohongi?
Bukan intimidasi


BULAN RETAK


Setelah keletihan cuaca kau temukan kembali
dalam rimba gelap itu. Tubuhmu tak lagi terlihat
berenang di atas kolam. Kau sebut dirimu air tumpah-
Sabit yang lapar purnama. Sedang embun
yang bersetubuh dengan angin mulai jenuh
menggetar matamu. Bilik hatimu berjatuhan
tahun lalu. Bau tanah yang memang telah berjaga
pada senja di urat lehermu

Susut kening yang berkejaran,
Temaram di bawah lampu
Setengah mati
Mengingatkanmu pada koran-koran yang berdarah,
ember tua, dan kopiah seorang kiai yang tersesat
di relung-relung paling gaib.
Malam itu bertasbih menghujat manis bayang-bayang.
Melulu berdoa menjadikan nasib hanyalah kicau burung
pagi hari yang mendadak gersang ketika mimpi penuh sesak
Di saat pecahan-pecahan karang dalam dirimu
tak kuat lagi menantang ombak-
Buaian yang beringas dalam kepengecutan paling lembut.
Dan kau pun buta bencana. Buta gaung waktu.
Dan dengan manja berkata,”
Puisimu kelewat gelap dan suram untuk kusinggahi.”
Aku tahu. Pergilah. Hingga terkapar
Kau jadi bulan yang Terpenggal.

Dan airmata belumlah cukup
Jadi keluarlah, ayo keringkan dunia
Yang basah oleh tangisanmu

ZAMAN ULAR

Ambisi hanyalah untuk orang muda
Dan lihat, aku masih muda
Darahku penuh didih
Siapa yang berontak berpisah dari mimpi
Terkutuklah disumpahi sepi
Bukan apa-apa
Tinggal sekali ini saja aku berkata
Hai muda
Peduli tak peduli urusanmu
Urusanku taklukkan laut
Tempat perahumu terkoyak
(ii)

Zaman tumpah serapah. Kulit terkelupas. Ganti rupa, zaman
ular !
Percayalah, ini lebih gila dari zaman edan Ranggawarsita
: lingkaran darah telah lebih banyak dibangun
untuk saling menerkam. Tak peduli siapa. Asal menang.
Asal kuasa. Asalasalan semua.

Kita masih hijau, masih muda. Tetap saja ditipu zaman.
Tergerus di tanah kita sendiri. Lantas apa lagi, toh kebanyakan
lapuk menjadi pupuk kegembiraan liar. Kebanyakan menatap
kosong kemanusian.
: apa pula itu kemanusiaan. Kemanusiaan sudah masuk
keranjang belanja. Puting susu perempuan segala terbeli.
Jelas bagimu harga kemurahan tuhan itu
Penghianatan pada tuhan.
: Tuhan diterkam tuhantuhan. Hantumu, hai pelayan iblis. Ular
sihir Fir’aun beranak pinak tiada henti, sedang Musa telah mati
di hatimu.

0 kita diserang ularular. Zaman ular menelan kita habishabisan
ke dalam mulutnya. Keyakinan jadi penuh bisa mendera. Kita

Masih terlalu muda untuk jadi ular. Berapa harga kerakusan
dan kepengecutanmu, aku bayar, jika memang ini pesta jual beli
sikap. Mari berpesta. Satu, aku tidak menari sepertimu,
tidak bernyanyi sepertimu. Aku punya caraku, ambisiku sendiri
untuk mengakhiri pesta. Terserah apa katamu, aku juga tidak
peduli bagaimana seluruh gigimu bergetak mengintai darahku.

Ayo, ayo tikam aku zaman ular, terkam aku. Masih kusimpan
kerinduan Musa pada Tuhan di Tursina. Lihatlah hai pelayan
Fir’aun, aku masih berdiri kuat meski tanpa keajaiban tongkat
Musa.

Ular ! Tapi siapa menerkam siapa? Masingmasing menyisakan
lumut pada keteduhan sungaisungainya. Masingmasing
memelihara ular dalam dada. Apa ini,

Kiamat keresahanku? Rengkuh aku, Tuhan, ke dalam
rangkulanMu yang kutahu Sejati. Dan biarkan aku sedikit saja
mencuri kesejatianMu, menjadi bayangbayangMu menantang
ular

0 komentar:

Posting Komentar